Habib Zain lahir di ibukota Jakarta pada 1357/1936. Ayahnya, Habib Ibrahim adalah ulama besar di bumi Betawi kala itu. Selain keluarga, lingkungan tempat di mana mereka tinggal pun boleh dikatakan sangat beragama.
Guru-gurunya ialah Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz, Habib Umar bin Alwi al-Kaf, al-Allamah al-Sheikh Mahfuz bin Salim, Sheikh Salim Said Bukayyir Bagistan, Habib Salim bin Alwi al-Khird, Habib Ja’far bin Ahmad al-Aydrus, Habib Muhammad al-Haddar (mertuanya) dan ramai lagi. Selanjutnya, pada usia empat belas tahun (1950), ayahnya memberangkatkan Zain ke Hadramaut, tepatnya kota Tarim. Di bumi awliya’ itu Zain tinggal di rumah ayahnya yang telah lama ditinggalkan.
Menyadari mahalnya waktu untuk disia-siakan, Zain berguru kepada sejumlah ulama setempat, berpindah dari madrasah satu ke madrasah lainnya, hingga pada akhirnya mengkhususkan belajar di ribath Tarim. Di pesantren ini nampaknya Zain merasa cocok dengan keinginannya. Di sana ia memperdalam ilmu agama, antara lain mengaji kitab ringkasan (mukhtashar) dalam bidang fikih kepada Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz. Di bawah asuhan Habib Muhammad pula, Zain berhasil menghafalkan kitab fikih buah karya Imam Ibn Ruslan, “Zubad”, dan “Al-Irsyad” karya Asy-Syarraf Ibn al-Muqri. Tak cukup di situ, Zain belajar kitab “Al-Minhaj” yang disusun oleh Habib Muhammad sendiri, menghapal bait-bait (nazham) “Hadiyyahas-Shadiq” k arya Habib Abdullah bin Husain bin Thahir dan lainnya. Dalam penyampaiannya, di Tarim beliau sempat berguru kepada sejumlah ulama besar. Seperti Habib Umar bin Alwi al-Kaf, Syekh Salim Sa’id Bukhayyir Bagitsan, Habib Salim bin Alwi al-Khird, Syekh Fadhl bin Muhammad Bafadhl, Habib Abdurrahman bin Hamid as-Sirri, Habib Ja’far bin Ahmad al-Aydrus, Habib Ibrahim bin Umar bin Agil dan Habib Abubakar al-Atthas bin Abdullah al-Habsyi.
Selain menimba ilmu, di sana Habib Zain banyak mendatangi majlis para ulama demi mendapat ijazah, semisal Habib Muhammad bin Hadi as-Seggaf, Habib Ahmad bin Musa al-Habsyi, Habib Alwi bin Abbas al-Maliki al-Makki, Habib Umar bin Ahmad bin Sumaith, Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad, Habib Abdul Qadir bin Ahmad as-Seggaf dan Habib Muhammad bin Ahmad as-Syatiri. Melihat begitu banyaknya ulama yang didatangi, dapat disimpulkan, betapa besar semangat Zain dalam rangka merengkuh ilmu pengetahuan agama, apalagi melihat lama waktu beliau tinggal di sana, yaitu kurang lebih delapan tahun. Dirasa ilmu yang didapatkan cukup, salah seorang gurunya bernama Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz menyarankannya pindah ke kota Baidhah, salah satu wilayah pelosok bagian negeri Yaman, utuk mengajar di ribath di sana sekaligus berdakwah. Ini dilakukan menyusul permohonan mufti Baidhah, Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar.
Guru-gurunya ialah Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz, Habib Umar bin Alwi al-Kaf, al-Allamah al-Sheikh Mahfuz bin Salim, Sheikh Salim Said Bukayyir Bagistan, Habib Salim bin Alwi al-Khird, Habib Ja’far bin Ahmad al-Aydrus, Habib Muhammad al-Haddar (mertuanya) dan ramai lagi. Selanjutnya, pada usia empat belas tahun (1950), ayahnya memberangkatkan Zain ke Hadramaut, tepatnya kota Tarim. Di bumi awliya’ itu Zain tinggal di rumah ayahnya yang telah lama ditinggalkan.
Menyadari mahalnya waktu untuk disia-siakan, Zain berguru kepada sejumlah ulama setempat, berpindah dari madrasah satu ke madrasah lainnya, hingga pada akhirnya mengkhususkan belajar di ribath Tarim. Di pesantren ini nampaknya Zain merasa cocok dengan keinginannya. Di sana ia memperdalam ilmu agama, antara lain mengaji kitab ringkasan (mukhtashar) dalam bidang fikih kepada Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz. Di bawah asuhan Habib Muhammad pula, Zain berhasil menghafalkan kitab fikih buah karya Imam Ibn Ruslan, “Zubad”, dan “Al-Irsyad” karya Asy-Syarraf Ibn al-Muqri. Tak cukup di situ, Zain belajar kitab “Al-Minhaj” yang disusun oleh Habib Muhammad sendiri, menghapal bait-bait (nazham) “Hadiyyahas-Shadiq” k arya Habib Abdullah bin Husain bin Thahir dan lainnya. Dalam penyampaiannya, di Tarim beliau sempat berguru kepada sejumlah ulama besar. Seperti Habib Umar bin Alwi al-Kaf, Syekh Salim Sa’id Bukhayyir Bagitsan, Habib Salim bin Alwi al-Khird, Syekh Fadhl bin Muhammad Bafadhl, Habib Abdurrahman bin Hamid as-Sirri, Habib Ja’far bin Ahmad al-Aydrus, Habib Ibrahim bin Umar bin Agil dan Habib Abubakar al-Atthas bin Abdullah al-Habsyi.
Selain menimba ilmu, di sana Habib Zain banyak mendatangi majlis para ulama demi mendapat ijazah, semisal Habib Muhammad bin Hadi as-Seggaf, Habib Ahmad bin Musa al-Habsyi, Habib Alwi bin Abbas al-Maliki al-Makki, Habib Umar bin Ahmad bin Sumaith, Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad, Habib Abdul Qadir bin Ahmad as-Seggaf dan Habib Muhammad bin Ahmad as-Syatiri. Melihat begitu banyaknya ulama yang didatangi, dapat disimpulkan, betapa besar semangat Zain dalam rangka merengkuh ilmu pengetahuan agama, apalagi melihat lama waktu beliau tinggal di sana, yaitu kurang lebih delapan tahun. Dirasa ilmu yang didapatkan cukup, salah seorang gurunya bernama Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz menyarankannya pindah ke kota Baidhah, salah satu wilayah pelosok bagian negeri Yaman, utuk mengajar di ribath di sana sekaligus berdakwah. Ini dilakukan menyusul permohonan mufti Baidhah, Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar.
Dalam perjalanan ke sana, Habib Zain singgah dulu di kediaman seorang teman dekatnya di wilayah Aden, Habib Salim bin Abdullah as-Syatiri, yang saat itu menjadi khatib dan imam di daerah Khaur Maksar. Di sana Zain tinggal beberapa saat. Selanjutnya, Habib Zain melanjutkan perjalanannya. Maka dapat ditebak, sesampai di Baidhah, Habib Zain pun mendapat sambutan hangat dari tuan rumah, Habib Muhammad al-Haddar. Di sanalah untuk pertama kali ia mengamalkan ilmunya lewat mengajar.
Habib Zain menetap lebih dari 20 tahun di Rubath Baidha’ menjadi khadam ilmu kepada para menuntutnya. Beliau juga menjadi mufti dalam Mazhab Syafi’e. Setelah itu beliau berpindah ke negeri Hijaz. Selama 12 tahun Habib Zain telah bersama-sama dengan Habib Salim al-Syatiri menguruskan Rubath di Madinah. Setelah itu Habib Salim telah berpindah ke Tarim, Hadhramaut untuk menguruskan Rubath Tarim. Habib Zain di Madinah diterima ramai. Keterampilan dan wibawanya terserlah. Muridnya banyak dan terus bertambah. Dalam kesibukan mengajar dan usianya yang juga semakin meningkat, keinginan untuk terus menuntut ilmu tidak pernah pudar.Beliau mendalami ilmu Usul daripada Sheikh Zaydan al-Syanqiti al-Maliki. Habib Zain terus menyibukkan diri menuntut dengan Al-Allamah Ahmaddu bin Muhammad Hamid al-Hasani al-Syanqiti dalam ilmu bahasa dan Usuluddin.
Habib Zain seorang yang tinggi kurus. Lidahnya basah, tidak henti berzikrullah. Beliau sentiasa menghidupkan malamnya. Di waktu pagi Habib Zain keluar bersolat Subuh di Masjid Nabawi. Beliau beriktikaf di Masjid Nabawi sehingga matahari terbit, setelah itu beliau menuju ke Rubath untuk mengajar. Majlis Rauhah setelah asar sehingga maghrib
Salam Ukhuwah ya ustaz...
ReplyDeleteminta ana share ya ustaz...:)